Kamis, 16 April 2009

PakaiaN KebahagiaaN

Suatu ketika, tersebutlah seorang raja yang kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah. Emas, permata, berlian, dan semua batu berharga telah menjadi miliknya. Tanah kekuasaannya, meluas hingga sejauh mata memandang. Puluhan istana, dan ratusan pelayan siap menjadi hambanya.

Karena ia memerintah dengan tangan besi, apapun yang diinginkannya hampir selalu diraihnya. Namun, semua itu tak membuatnya merasa cukup. Ia selalu merasa kekurangan. Tidurnya tak nyenyak, hatinya selalu merasa tak bahagia. Hidupnya, dirasa sangatlah menyedihkan.

Suatu hari, dipanggillah salah seorang prajurit tebaiknya. Sang Raja lalu berkata, “Aku telah punya banyak harta. Namun, aku tak pernah merasa bahagia. Karena itu, ujar sang raja, “aku akan memerintahkanmu untuk memenuhi keinginanku. Pergilah kau ke seluruh penjuru negeri, dari pelosok ke pelosok, dan temukan orang yang paling berbahagia di negeri ini. Lalu, bawakan pakaiannya kepadaku.”

“Carilah hingga ujung-ujung cakrawala dan buana. Jika aku bisa mendapatkan pakaian itu, tentu, aku akan dapat merasa bahagia setiap hari. Aku tentu akan dapat membahagiakan diriku dengan pakaian itu. Temukan sampai dapat! ” perintah sang Raja kepada prajuritnya. “Dan aku tidak mau kau kembali tanpa pakaian itu. Atau, kepalamu akan kupenggal !!

Mendengar titah sang Raja, prajurit itupun segera beranjak. Disiapkannya ratusan pasukan untuk menunaikan tugas. Berangkatlah mereka mencari benda itu. Mereka pergi selama berbulan-bulan, menyusuri setiap penjuru negeri. Seluas cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, seperti perintah Raja. Di telitinya setiap kampung dan desa, untuk mencari orang yang paling berbahagia, dan mengambil pakaiannya.

Sang Raja pun mulai tak sabar menunggu. Dia terus menunggu, dan menunggu hingga jemu. Akhirnya, setelah berbulan-bulan pencarian, prajurit itu kembali. Ah, dia berjalan tertunduk, merangkak dengan tangan dan kaki di lantai, tampak seperti sedang memohon ampun pada Raja. Amarah Sang Raja mulai muncul, saat prajurit itu datang dengan tangan hampa.
“Kemari cepat!!. “Kau punya waktu 10 hitungan sebelum kepalamu di penggal. Jelaskan padaku mengapa kau melanggar perintahku. Mana pakaian kebahagiaan itu!” gurat-gurat kemarahan sang raja tampak memuncak.
Dengan airmata berlinang, dan badan bergetar, perlahan prajurit itu mulai angkat bicara. “Duli tuanku, aku telah memenuhi perintahmu. Aku telah menyusuri penjuru negeri, seluas cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, untuk mencari orang yang paling berbahagia. Akupun telah berhasil menemukannya.

Kemudian, sang Raja kembali bertanya, “Lalu, mengapa tak kau bawa pakaian kebahagiaan yang dimilikinya?

Prajurit itu menjawab, “Ampun beribu ampun, duli tuanku, orang yang paling berbahagia itu, TIDAK mempunyai pakaian yang bernama kebahagiaan.”
***
Teman, bisa jadi, memang tak ada pakaian yang bernama kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan, seringkali memang tak membutuhkan apapun, kecuali perasaan itu sendiri. Rasa itu hadir, dalam bentuk-bentuk yang sederhana, dan dalam wujud-wujud yang bersahaja.

Seringkali memang, kebahagiaan tak di temukan dalam gemerlap harta dan permata. Seringkali memang, kebahagiaan, tak hadir dalam indahnya istana-istana megah. Dan ya, kebahagiaan, seringkali memang tak selalu ada pada besarnya penghasilan kita, mewahnya rumah kita, gemerlap lampu kristal yang kita miliki, dan indahnya jalinan sutra yang kita sandang.

Seringkali malah, kebahagiaan hadir pada kesederhanaan, pada kebersahajaan. Seringkali rasa itu muncul pada rumah-rumah kecil yang orang-orang di dalamnya mau mensyukuri keberadaan rumah itu. Seringkali, kebahagiaan itu hadir, pada jalin-jemalin syukur yang tak henti terpanjatkan pada Ilahi.

Sebab, teman, kebahagiaan itu memang adanya di hati, di dalam kalbu ini. Kebahagiaan, tak berada jauh dari kita, asalkan kita mau menjumpainya. Ya, asalkan kita mau mensyukuri apa yang kita punyai, dan apa yang kita miliki.
Adakah “pakaian-pakaian kebahagiaan” itu telah Anda sandang dalam hati? Temukan itu dalam diri.

Kiriman dari seorang sahabat yang tidak mau disebut namanya

Terima kasih sahabat…

resensi.net

Rabu, 15 April 2009

Jadilah Magnet atas Suksesmu

resensi.net

What you see in your mind, you’re going to hold it in your hand” (Bob Proctor)

Sekarang ini, di mana-mana begitu ramai dibicarakan The Secret, buku yang ditulis oleh penulis kelahiran Australia Rhonda Byrne. Buku yang menggemparkan ini telah memopulerkan nama Rhonda Byrne dan menobatkan dirinya menjadi salah satu perempuan berpengaruh di dunia saat ini. Apakah yang menarik dari buku The Secret ini?

Intisari The Secret adalah The Law of Attraction atau hukum daya tarik. Inti dari hukum daya tarik ini adalah like attract like. Artinya, sesuatu akan menarik sesuatu yang mirip dengannya. Jadi, saat kita memikirkan sesuatu, dikatakan bahwa kita sedang menarik
sesuatu itu ke arah diri kita.

Bayangkanlah seorang ibu yang seringkali mengalami kecopetan. Masalahnya, setiap kali ke pasar, ia selalu membayangkan dan dihantui bayangan para pencopet. Setiap kali mengalami kecopetan, ia semakin ketakutan dan semakin membayangkan hal itu terjadi lagi berulang kali. Pikiran si ibu itu menjadi magnet bagi para pencopet untuk mendekatinya.

Di sisi lain, ada seorang mahasiswa teologi yang mengatakan saat dirinya melancong ke luar negeri, ia tidak memiliki tabungan cukup dan tidak kenal siapa pun. Modalnya hanya berdoa dan membayangkan jalan mulus membentang di hadapannya. Anehnya, banyak kemudahan dan jalan ‘bantuan’ datang menghampirinya saat ia membutuhkan.

Dalam hukum daya tarik ini, pikiran kita bereksistensi ibarat magnet. Pikiran kita memiliki getaran frekuensi yang kita pancarkan ke sekeliling kita. Akibatnya, getaran ini mulai memengaruhi lingkungan sekitar kita dan mulai menarik alam semesta (universe) terkait
berbagai hal kembali kepada diri kita.

Jadi, kalau getaran frekuensi yang kita pancarkan merupakan getaran kesuksesan dan kebahagiaan, alam semesta akan mengatur kesuksesan dan kebahagiaan itu sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Sebaliknya, bila yang kita pikirkan adalah marabahaya, maka kemungkinan besar hal-hal yang tidak kita inginkan itulah yang bakalan menghampiri kita.

Mendukung mimpi

Seperti dikatakan DR.Joe Vitale, salah seorang pembicara dan penulis yang turut memberikan kontribusi dalam buku The Secret, “Alam semesta akan mulai mengatur dirinya, untuk membuat apa pun yang terpikirkan olehmu, mulai termanifestasikan bagi dirimu”.

Persis seperti pesan Sang Alkemis, novel spiritual Paulo Coelho. Di sana, dikisahkan tentang Santiago, seorang bocah penggembala domba dari Padang Andalusia, yang mengelana mewujudkan mimpi-mimpinya. Pesan utamanya, “Orang yang meyakini seluruh mimpi-mimpinya, maka seluruh alam semesta akan membantunya dalam mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan.”

Bayangkan dengan mereka yang phobia dengan cecak dan takut kalau- kalau ada cecak. Akibatnya, jutsru mereka ‘menarik’ cecak di mana-mana. Demikian pula yang takut kegagalan, justru mereka menarik energi kegagalan dalam diri mereka. Sebaliknya, kalau kita menarik kekayaan, kesuksesan, uluran tangan, dan kebahagiaan, maka itulah
yang akan tertarik ke arah dirimu.

James Ray, salah satu pemikir terkenal dan kontributor buku ini memakai metafora menarik. Bayangkanlah dunia ini seperti kisah lampu Aladin dalam dongeng 1001 Malam. Bayangkan, saat dirimu membutuhkan sesuatu dirimu tinggal menggosok lampunya, maka akan muncul jin ajaib dan berkata pada Anda, “Your wish is my command” (harapan Anda adalah perintah untuk saya). Bayangkanlah alam semesta mengatakan hal tersebut kepada diri Anda.

3 Langkah

Ada tiga langkah dalam proses the Law of Attraction ini. Ketiga langkah tersebut mencakup keberanian meminta (ask), keyakinan akan menerima (believe), dan kemampuan dan perasaan telah menerima (receive). Kalau dicermati prosesnya kembali, maka dikatakan, segala sesuatu dimulai dari keinginan dan kemauan kita untuk meminta dan
mengharapkan hal yang positif terjadi dalam hidup kita.

Seperti dikatakan Jack Canfield dalam bukunya The Aladdin Factor, “Jika kamu tidak pernah meminta, maka kamu tidak akan pernah menerimanya” . Setelah meminta, maka dibutuhkan keyakinan bahwa kita bisa menerimanya.

Banyak orang meminta sesuatu, tetapi kemudian menjadi ragu-ragu sehingga apa yang ada tidak betul-betul termanifestasikan. Tanpa sadar terjadi energi ‘penolakan’ akibat keragu-raguannya.

Langkah terakhir adalah kemampuan kita untuk menerima atau, kalaupun belum terasakan sekarang, tetapi merasa telah mulai dalam proses menerima apa yang diharapkan. Masalahnya, banyak orang tidak sabar dan berhenti saat apa yang diharapkan tidak langsung terjadi. Otak membutuhkan penyesuaian dan alam semesta membutuhkan waktu
mewujudkannya, tetapi kita sendiri harus meyakininya.

Lagi pula, penting pula kita untuk mendoakan dan mengharapkan bantuan tangan dan izin Tuhan sehingga apa yang kita pikirkan terwujud. Sebab, bagaimanapun hukum ini kita imani berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, doa dan keyakinan atas berlakunya the law of attraction ini tetaplah menjadi hal penting.

Akhirnya, the law of attraction ini mengingatkan kita satu hal penting. Marilah kita selalu sadar dengan apa yang kita pikirkan. Hal ini akan menjadi sebuah medan magnet yang luar biasa.

Bayangkan, melalui pikiran itulah kita sedang membuat lukisan kehidupan kita sendiri. Kesimpulannya, kita, adalah apa yang kita bayangkan setiap hari.

Sumber: Jadilah Magnet Atas Suksesmu oleh Anthony Dio Martin, Director HR Excellency

Jumat, 03 April 2009

Tuhan memberikan apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan

Kakak perempuan saya, Darma adalah seorang pengusaha, tepatnya dibidang property (developer ruko-rumah toko). Dalam menjalankan usahanya itu, dia membutuhkan modal yang tidak sedikit. karena kebanyakan user (calon pembeli) baru akan membayar setelah ruko yang mereka inginkan sudah siap untuk ditempati. Untuk itu dia harus mempunyai modal yang cukup besar agar dapat segera membangun/menyelesaikan ruko-ruko tersebut. Secara kami bersaudara bukan anak orang kaya yang mempunyai warisan sampai tujuh turunan, dan kami juga tidak punya relasi yang sanggup memodali proyek tersebut (minimal nambah2in modal gitu..), maka pilihan untuk memperoleh modal yang dibutuhkan, jatuh pada BANK.
Nah, setelah kerjasama dengan bank (BTN), ternyata masalahnya tidak langsung selesai begitu saja (hm.. mang enak!). Kenapa?karena bank tersebut mencairkan kredit sedikit demi sedikit, sambil memantau perkembangan usaha yang sedang berjalan.
Sementara kredit yang cair tersebut hanya cukup untuk membayar hutang hutang material saja. Dan untuk membeli materialnya lagi, TB tersebut tidak ingin diutangin lagi alias harus dibayar tunai, alasannya adanya permintaan yang tinggi dari para developer dan stock material yang kurang/sedikit sehingga dia memprioritaskan para pembeli yang membayar tunai.
Sekali lagi usahanya macet. Entah dapat wangsit dari mana, dia menelponku. dan minta tolong siapa tahu saya bisa mendapatkan pinjaman dari bank lain. Kebetulan sayapun sering mendapatkan tawaran KTA dari bank bank, utamanya bank asing. Selama ini saya sering menolak tawaran tersebut, karena memang tidak membutuhkannya. Saya khawatir kalo diterima saya jadi makin konsumtif. Akhirnya, saya berhasil memperoleh pinjaman (KTA) dari 2 bank. Sayangnya pinjaman tersebut masih amat kurang dibandingkan dengan dana yang dia butuhkan. Sekali lagi dia tersenyum getir, yah.. kecewa, tapi harus tetap bersyukur. Pada hari yang sama ketika saya mentransfer dana tersebut, kakakku pun ke ATM untuk mengambilnya karena kebutuhannya yang sudah sangat mendesak. Saat itu juga diapun langsung menyelesaikan urusan2nya termasuk melunasi hutang material, membayar upah tukang, dan juga gaji karyawan yang sedikit terlambat, hingga akhirnya dana yang cair tadi, tinggal ratusan ribu saja.
Tapi Tuhan memang Maha Penolong, Dia tidak tinggal diam melihat ada seorang hambaNya yang bersusah payah untuk mencari nafkah yang halal, yang berusaha keras agar para karyawan, tukang, dan orang2 yang membantunya bisa makan. Tuhan tahu apa yang kita butuhkan sebenarnya.
Setibanya kakakku di rumah tepatnya sebelum waktu Maghrib, dia telah ditunggu oleh dua orang tamu. AND U KNOW WHAT...??? Dua orang tersebut bermaksud untuk membeli 2 unit ruko yang sedang dibangun. ALHAMDULILLAH... wajah yang tadinya ditekuk kini bisa senyum kembali, kaki yang tadinya terasa melayang layang karena kecapean, akhirnya bisa napak lagi. (hantu kali...??)
Begitulah, sembari nangis terharu (after her user go back of course..) dia menelponku dan menceritakan semua yang terjadi pada hari itu. Dan kami berdua tersadar bahwa apa yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik. Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan.
Lah.. hubungannya apa..??
Yah, kami lupa bahwa kami sebenarnya membutuhkan pembeli dan bukan pinjaman. Dan terbukti Tuhan memberikan pembeli dan bukan pinjaman yang besar seperti yang kami inginkan.

Rabu, 01 April 2009

A HAPPIER YOU

The greatest goal you can set this year is to make peace with your life, no matter your circumstances. These 10 powerful insights from Eckhart Tolle will get you started.

Oneness with All Life by Eckhart Tolle
  1. Don't seek happiness. If you seek it, you won't find it, because seeking is the antithesis of happiness. Happiness is ever elusive, but freedom from unhappiness is attainable now, by facing what is rather than making up stories about it.

  2. The primary cause of unhappiness is never the situation but your thoughts about it. Be aware of the thoughts you are thinking. Separate them from the situation, which is always neutral, which always is as it is. There is the situation or the fact, and here are my thoughts about it. Instead of making up stories, stay with the facts. For example, "I am ruined" is a story. It limits you and prevents you from taking effective action. "I have 50 cents left in my bank account" is a fact. Facing facts is always empowering.

  3. See if you can catch the voice in your head, perhaps in the very moment it complains about something, and recognize it for what it is: the voice of the ego, no more than a thought. Whenever you notice that voice, you will also realize that you are not the voice, but the one who is aware of it. In fact, you are the awareness that is aware of the voice. In the background, there is the awareness. In the foreground, there is the voice, the thinker. In this way you are becoming free of the ego, free of the unobserved mind.

  4. Wherever you look, there is plenty of circumstantial evidence for the reality of time—a rotting apple, your face in the bathroom mirror compared with your face in a photo taken 30 years ago—yet you never find any direct evidence, you never experience time itself. You only ever experience the present moment.

  5. Why do anxiety, stress, or negativity arise? Because you turned away from the present moment. And why did you do that? You thought something else was more important. One small error, one misperception, creates a world of suffering.

  6. People believe themselves to be dependent on what happens for their happiness. They don't realize that what happens is the most unstable thing in the universe. It changes constantly. They look upon the present moment as either marred by something that has happened and shouldn't have or as deficient because of something that has not happened but should have. And so they miss the deeper perfection that is inherent in life itself, a perfection that lies beyond what is happening or not happening. Accept the present moment and find the perfection that is untouched by time.

  7. The more shared past there is in a relationship, the more present you need to be; otherwise, you will be forced to relive the past again and again.

  8. Equating the physical body with "I," the body that is destined to grow old, wither, and die, always leads to suffering. To refrain from identifying with the body doesn't mean that you no longer care for it. If it is strong, beautiful, or vigorous, you can appreciate those attributes—while they last. You can also improve the body's condition through nutrition and exercise. If you don't equate the body with who you are, when beauty fades, vigor diminishes, or the body becomes incapacitated, this will not affect your sense of worth or identity in any way. In fact, as the body begins to weaken, the light of consciousness can shine more easily.

  9. You do not become good by trying to be good, but by finding the goodness that is already within you and allowing that goodness to emerge.

  10. If peace is really what you want, then you will choose peace.

Exerpted from Oneness with All Life by Eckhart Tolle. Published by arrangement with Dutton, a member of Penguin Group (USA), Inc. Copywright © 2008 by Eckhart Tolle

The Power Of Negative Thinking

Cheer up. Be happy. Find the silver lining. Smile.

If you didn't know any better, you might say we're a country that preaches optimism. But some 30 to 35 percent of Americans employ a calculated form of negative thinking—called defensive pessimism—that can lead to very positive results, according to Julie K. Norem, PhD, a professor of psychology at Wellesley College.

We're not talking about a general disposition to see the glass half-empty: "Defensive pessimism is a strategy used in specific situations to manage anxiety, fear, and worry," says Norem, who has conducted seminal research on the subject. "Defensive pessimists," she says, "prepare for a situation by setting low expectations for themselves, then follow up with a very detailed assessment of everything that may go wrong." Once they've imagined the full range of bad outcomes, they start figuring out how they'll handle them, and that gives them a sense of control.

"What's intriguing about defensive pessimists," adds Lawrence Sanna, PhD, a professor of psychology at the University of North Carolina at Chapel Hill, who has also studied the phenomenon, "is that they tend to be very successful people, and so their low opinion of the outcome isn't realistic; they use it to motivate themselves to perform better." For example, an executive is getting ready to pitch a project, and she thinks beforehand, "The client is going to be really difficult; he's not going to like my proposal. I have to make sure I explain things very clearly." "She uses defensive pessimism as a tool to work through all the possibilities so she's prepared for everything, even failure," Sanna says. "And if she does fail, she's ready for it, so it's not so catastrophic."

If all this sounds familiar (take the quiz to see if you use defensive pessimism), a piece of advice from the experts may give you a lift: Don't listen to appeals from friends or family to look on the bright side. "Research shows that if you pressure defensive pessimists into being optimistic, or try to manipulate their mood, their performance deteriorates," says Andrew J. Elliot, PhD, professor of psychology at the University of Rochester. One of the most frequent comments Norem got after publishing The Positive Power of Negative Thinking in 2001 was "Thank you. I can finally tell my mother to shut up."

by Tim Jarvis

When and How to Say "Enough!"

By Martha Beck

There are two ways of going through life: Gather everything in sight, just in case you need it. Or, trust that you'll find exactly what you need, just in time. Guess which one lets you really stop and smell the roses?

Shortly after World War II, executives at Japan's Toyota Motor Company made a decision from which, I believe, we all can benefit. They decided to make cars the way they'd make, say, sushi. Unlike most manufacturers, which bought and stored massive stockpiles of supplies, Toyota began ordering just enough parts to keep their lines moving, just when those parts were needed. This made them spectacularly productive, and turned the phrase "just in time" into business legend.

I know of the Toyota case because in my former life as an academic, I taught international business management. My students and I had some rousing discussions about just-in-time (JIT) manufacturing, as well as its alternative, which is known as just-in-case (JIC) inventory. These students were the first people who hired me as a life coach (perhaps because I could never resist applying business theory to everyday life). When we discussed JIT versus JIC management as a lifestyle strategy, we concluded that Toyota's business innovation could positively impact all of our lives. If you feel overburdened, overstressed, and anxious, I'm betting the same is true for you.